YAYASAN MANDIRI

» Home

» About

» Services

» Jobs

» Contact

Toni "Pangcu" Driyantono
2007

BAGIAN PERTAMA

DARI JALANAN KE PESANTREN1

Suasana di Jalan Cimandiri 26 - tempat tinggal saya dan beberapa teman yang sama-sama kuliah di ITB -- pada awal tahun 1979 tetap ramai seperti biasa. Rumah ini mulai ditempati secara ramai-ramai, ketika putra pemilik rumah2 - Iskandar Kuntoadji - kuliah di ITB pada tahun 1977. Pada awalnya, penghuni rumah ini sejumlah 6 orang, lima berasal dari SMA yang sama yaitu SMAN XI3 Bulungan (termasuk saya), Jakarta dan satu orang adalah teman kuliah Iskandar. Kebetulan sejak masuk ITB, ada beberapa penghuni yang aktif di organisasi mahasiswa di lingkungan ITB, baik di lingkungan unit kegiatan maupun di himpunan mahasiswa jurusan. Karena itu, setiap hari rumah ini menjadi tempat berkumpul. Bahkan, lama-kelamaan rumah ini "penghuninya" menjadi bertambah. Sering terjadi makanan yang disediakan sudah habis, sebelum dinikmati oleh penghuni asli rumah tersebut.

Kegiatan di Cimandiri semakin meningkat ketika dimulainya Gerakan Mahasiswa ITB tahun 1997-1978 yang "tidak menginginkan kembali Soeharto sebagai Presiden RI". Gerakan ini lebih dikenal dengan Gerakan Mahasiswa 78 yang menghasilkan Buku Putih ITB. Cimandiri menjadi salah satu pusat atau tempat berkumpul para aktivis ITB. Menurut saya, mungkin selain oleh teman-teman tempat ini dirasa "aman", karena selain dimiliki seorang Jenderal, juga kebetulan adik pemilik rumah saat itu menjadi Menteri Pekerjaan Umum (Almarhum Dr. Purnomosidi Hajisarosa). Selain itu, letaknya yang mudah dijangkau, karena berada di belakang Gedung Sate (gedung pusat pemerintahan Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat). Rumah ini benar-benar mencapai "puncak tingkat huniannya" ketika kampus ITB diduduki oleh militer, sekitar 3 bulan pada tahun 1978. Pada saat itu, Cimandiri, selain menjadi "tempat sembunyi yang aman" bagi sebagian aktivis yang dicari oleh aparat, juga menjadi salah satu "pusat perlawanan".

Setelah kami "kalah perang" dengan Soeharto, rumah ini tetap ramai. Penghuni tidak berkurang, bahkan makin bertambah, karena teman kami juga makin banyak. Hanya beda bahan obrolannya. Kalau tahun 1977-78, banyak bicara politik, tahun 1979 ngobrol soal kuliah, sehari-hari dan lain-lain, sambil tidak lupa main kartu (main Canasta adalah permainan favorit "penghuni"4 ).

Salah satu topik yang dibicarakan adalah "apakah benar sikap kita dalam anti Soeharto, yaitu mengatasnamakan rakyat, padahal apa yang sudah kita perbuat untuk rakyat". Topik ini cukup sering dibicarakan. Sampai suatu saat, "penghuni" Cimandiri, Ansori Jausal, yang waktu itu juga aktif di Pusat Teknologi Pembangunan (Development Technology Center) atau PTP (DTC) ITB, mengajak diskusi soal "teknologi ferrocement5 ", yang digolongkan sebagai Teknologi Tepat Guna (TTG). Diskusi tentang TTG menjadi bahan utama sejak itu. Ini juga dirangsang oleh terbitnya terjemahan buku "Small is Beautiful (diterbitkan oleh LP3ES dengan judul "Kecil itu Indah") yang dikarang oleh E.F. Schumacher", yang memang isinya membicarakan tentang "teknologi yang memanfaatkan bahan yang ada di tempat (bahan-bahan lokal) serta sesuai dengan kemampuan masyarakat dan bermanfaat untuk masyarakat".

Tidak hanya sekadar diskusi, beberapa teman ikutserta dalam ujicoba perahu yang dibuat dari ferrocement di Sukabumi, yang dilakukan oleh Lembaga Bantuan Teknologi ITB. Kami merasa mungkin dengan berbuat yang konkrit, yang berkaitan dengan TTG, merupakan "balas jasa kami kepada masyarakat" karena telah "mengatasnamakan rakyat" ketika kami melawan Soeharto. Kegiatan TTG semakin konkrit, ketika ada tawaran dari seorang teman ITB, Muchtar Abbas, yang ketika itu menjadi Tenaga Pengembangan Masyarakat (TPM) LP3ES di Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah. Muchtar meminta bantuan untuk mengatasi kebutuhan air bersih bagi pesantren dan masyarakat sekitar. Ada sumber air yang cukup besar, yaitu Sungai Pabelan, yang letaknya sekitar 1 (satu) km dari pesantren.

Tantangan itu kami terima, walaupun sebenarnya tidak punya pengalaman sama sekali. Bahkan keterampilan kami pun kami merasa tidak memadai. Hanya Ansori Jausal yang selama ini kami anggap paling mampu tentang TTG. Berbekal dengan kenekadan6 dan latar belakang teknologi, kami mencoba menjawab permasalahan air di pesantren Pabelan. Kami berbagi tugas untuk itu. Ada yang belajar Pompa Hidram (Hydraulic Ram) yaitu sejenis pompa yang termasuk kriteria TTG yang dapat menaikkan air, ada yang mengukur jarak dan ketinggian (ini kerjaan teman-teman yang ambil jurusan Geodesi dan Geologi), ada yang belajar membuat ferrocement7 dan bambu semen8 (TTG yang bisa digunakan untuk membuat tempat penampungan air), dan ada yang bertugas diskusi dengan Kiai, Ustadz dan santri untuk persiapan dan pelaksanaannya (kebetulan saya termasuk yang ditugaskan untuk hal ini).

Kegiatan di Pabelan itu telah memberi pelajaran kepada kami, tidak hanya tentang TTG, tapi juga tentang masyarakat. Kiai Hamam Ja'far (pengasuh pesantren Pabelan) membantu kami mengenal dan memahami masyarakat. Seperti biasa sebagai mahasiswa kami selalu berpikir yang programatis. Semuanya dirancang dengan sistematis dan terprogram. Pakai jadwal pekerjaan - seperti yang kami pelajari tentang suatu proyek ketika kami kuliah - dan untuk efisiensi waktu maka beberapa pekerjaan direncanakan akan dilakukan secara pararel. Misalnya, pekerjaan pemasangan pompa, pembuatan tangki tandon (tempat penampung) air, dan pemasangan pipa penyalur air.

Ketika hal ini, kami presentasikan di hadapan Kiai Hamam, beliau tidak setuju. Bagi Kiai Hamam yang penting efektifitas sosial (ini istilah dari saya) - yaitu untuk menumbuhkan motivasi agar dukungan dari masyarakat setempat - dibandingkan dengan efisiensi teknis proyek (antara lain waktu dan dana). Kiai Hamam bilang bahwa "yang penting selesaikan dahulu pompanya sampai airnya bisa naik, biarkan air yang naik itu tidak usah ditampung, sehingga terbuang ke tanah, baru kemudian masyarakat diajak melihat air terbuang itu, dan dimotivasi bagaiman air tersebut bisa ditampung dan dimanfaatkan untuk keperluan pesantren dan masyarakat". Kalau penduduk sudah termotivasi, baru masyarakat diperkenalkan tentang pembuatan tangki air dengan Bambu semen dan Ferrocement, juga rencana pembuatan pipa penyaluran air. Ternyata benar perkataan Kiai Hamam. Ketika ujicoba kami lakukan dan berhasil, spontan masyarakat datang dan bertanya apa saja yang bisa dilakukan oleh mereka agar air itu sampai ke pesantren, sehingga mereka juga bisa ikut menikmati.

Kegiatan Pabelan, membuat TTG dan masyarakat juga tentang pesantren mewarnai percakapan kami sehari-hari di Cimandiri. Seakan-akan mendapat permainan baru, bahkan sambil main Canasta kami mendiskusikan hal tersebut. Kami mulai bercita-cita atau bahkan mungkin mimpi tentang teknologi yang sesuai dan bermanfaat bagi masyarakat. Diskusi tentang pengembangan teknologi tersebut tentunya yang khas Cimandiri, panas dalam pembicaraan tapi dingin di hati dan penuh dengan canda dan humor. Sampai juga kami membicarakan tentang apakah yang kami kerjakan ini butuh wadah. Ada yang berpendapat perlu tapi yang informal seperti yang sudah berjalan. Tetapi, ada juga yang mengatakan mungkin kita perlu wadah yang legal, artinya berbadan hukum, sehingga memudahkan untuk berhubungan dengan pihak lain.

Tentang wadah tersebut, akhirnya kami sepakat untuk membuat suatu institusi yang legal atau berbadan hukum. Selain karena untuk masalah administrasi, karena kami juga mendengar bahwa LP3ES puas dengan pekerjaan kami di Pabelan, dan sedang berupaya membuat pengembangan TTG di pesantren lainnya. Jika upaya ini berhasil, kemungkinan besar kami yang diminta untuk terlibat dalam program tersebut. Konsep organisasi Mandiri berkembang ketika akan menyusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD dan ART) Yayasan Mandiri. Penyusunan AD/ART itu tidak hanya diikuti "penghuni" Mandiri, tetapi juga beberapa teman diundang untuk memberikan masukan. Diskusi berlangsung serius dan intensif, tanpa melupakan canda ria khas Mandiri, dan tidak hanya sekadar memenuhi persyaratan administratif. Berhari-hari bahkan sampai larut malam kami berdiskusi, dan jika sudah jenuh maka permainan Canasta dimulai. Dialog yang berlangsung, tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan AD/ART, tetapi juga memperdebatkan ideologi atau filosofi tentang pembangunan teknologi di Indonesia. Teman-teman dengan konsepnya masing-masing, mulai dari referensi yang selama ini mereka baca (termasuk Qur'an dan Hadits), pengalaman lapangan, dan bahkan teori yang dibuat sendiri. Penyajiannya pun bervariasi, ada yang mempersiapkan makalah, ada yang pakai bagan dalam bentuk bulatan-bulatan, sampai lisan saja yang disampaikan dengan serius sampai gaja dagelan. Seandainya tidak dibatasi waktu mungkin diskusi-diskusi tersebut akan berlangsung terus dan tidak jelas arahnya. Kami hampir lupa bahwa diskusi tersebut awalnya adalah menyusun AD/ART yang diperlukan untuk akte notaris.

Kami sepakat memilih bentuk Yayasan, dengan pertimbangan waktu itu ini bentuk badan hukum yang tidak mencari untung dan untuk menambah anggota (maksud kami agar "virus" TTG ini dapat menyebar dan terbuka untuk siapa saja yang berminat). Tentang nama, kami sepakat untuk menggunakan nama Yayasan Mandiri. Nama Mandiri sebenarnya berasal dari tempat kami berdiskusi yaitu Cimandiri. Hanya supaya lebih punya arti, kami kaitkan dengan self-reliance atau kemandirian, yang menjadi prinsip kami untuk bisa berbuat tanpa ketergantungan.

Pada tanggal 19 Desember 1979 resmilah kumpulan "pemain Canasta" mendirikan Yayasan Mandiri yang mempunyai fokus pada Teknologi Tepat Guna dan Pengembangan Masyarakat. Kami mempunyai harapan melalui Yayasan Mandiri "dapat mengembangkan masyarakat ke arah yang lebih baik melalui teknologi". Ada 21 (duapuluh satu) orang yang menjadi Pendiri dari Yayasan Mandiri. Sampai saat ini para Pendiri masih aktif dalam berbagai aktifitasnya, yang walaupun tidak langsung berkaitan dengan TTG, tetapi visi dan misi Yayasan Mandiri (biasa disebut dengan Mandiri) tampaknya selalu menjadi pegangan para pendiri tersevut. Hanya ada satu teman Pendiri, yang lebih awal mendahului kami, yaitu Irzadi Mirwan, yang belum sempat melihat kiprah konkrit Mandiri di masyarakat. Jika tidak salah ingat, sahabat Irzadi meninggal pada tahun 1980 atau 1981 ketika mengikuti Pendidikan Dasar Wanadri (Perhimpunan Pencinta Alam di Bandung).

Pada tahun 1980 ada sebuah lembaga teknologi (bisa disebut LSM) dari Belanda, yaitu Demotech, yang tertarik untuk bekerjasama dengan Mandiri melakukan ujicoba peralatan TTG yang mereka punya di daerah Bandung dan sekitarnya. Teman dari PTP/DTC ITB yang membawa Demotech ke Mandiri, karena Demotech ingin bekerjasama dengan LSM9 . Ada beberapa TTG yang dibawa Demotech, tapi yang paling saya ingat dan akhirnya jadi salah satu andalan Mandiri adalah Pompa Tali. Dibuat dari tali tambang plastik, bekerja seperti pompa dengan diputar, dan bisa mengangkat air sampai kedalaman tertentu (umumnya di atas 15 meter) yang biasanya kalau ditimba biasa akan melelahkan yang menimba.

Lokasi ujicoba itu dilakukan di desa-desa sekitar Bandung, yaitu di Lembang. Dalam ujicoba ini, selain dapat membantu masyarakat, yang memang rata-rata sumurnya mempunyai kedalaman lebih dari 15 meter, juga membuat Mandiri makin memahami masyarakat. Sambutan masyarakat amat baik, juga teman-teman dari Demotech merasa puas, karena alat yang mereka kenalkan bermanfaat bagi masyarakat. Mandiri sendiri merasa beruntung dapat belajar TTG yang relatif baru di dunia LSM maupun Perguruan Tinggi. Hubungan dengan Demotech masih berlangsung beberapa tahun. Mereka rutin berkunjung, selain sudah menganggap Mandiri menjadi rumah mereka di Indonesia, juga memantau pengembangan TTG di Indonesia, khususnya TTG yang mereka kenalkan dulu. Saya tidak tahu apakah lembaga ini masih ada di Belanda10 .

Proyek Pertama

Proyek11 Mandiri yang pertama adalah Program Pengembangan Teknologi Tepat Guna di Pesantren. Program ini dibiayai oleh The Asia Foundation (TAF) dan dikoordinir oleh LP3ES. Mandiri dipercaya sebagai pelaksana untuk Pelatihan dan Pengembangan TTG di Pesantren. Kami mulai menyusun kurikulum, jadwal, dan materi serta sarana yang diperlukan. LP3ES menyiapkan tempat latihan - yaitu di Pesantren Pabelan - dan peserta dari tiap pesantren. Ada sekitar 12 pesantren yang ikut, dari Sumatera Selatan (Pesantren Nurul Islam, Ogan Komering Ilir); Jawa Barat (Pesantren Masyariqul Anwar, Pandeglang dan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya); Jawa Tengah (Pesantren Pabelan dan Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati); Jawa Timur (Pesantren Al-Asy'ari, Keras, Jombang -- pesantrennya Kiai Asy'ari ayah dari Kiai Hasyim Asy'ari; Pesantren Langitan, Tuban; Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo; Pesantren Sukorejo, Situbondo; Pesantren As-Sunniyah, Kencong, Jember; Pesantren Darussalam, Blok Agung, Banyuwangi dan Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep). Setiap pesantren mengirimkan 1 sampai 3 orang peserta, kecuali pesantren Pabelan yang karena tuan rumah cukup banyak yang ikut pelatihan sambil jadi panitia.

Pada pelaksanaan pelatihan ini - kalau tidak salah sekitar tahun 1980 --, sebagai pelatih atau fasilitator tidak hanya Mandiri, juga melibatkan Yayasan Dian Desa, Yogyakarta. Dari materi yang waktu itu disusun oleh Mandiri, yang mengidentifikasi jenis-jenis TTG yang mungkin bisa dan sesuai digunakan oleh pesantren, ternyata ada beberapa materi yang Mandiri sendiri merasa tidak punya kemampuan. Yayasan Dian Desa12 lebih dulu awal berdiri daripada Mandiri, dan memang kami tahu bahwa mereka mempunyai kemampuan yang tidak dimiliki oleh Mandiri13 . Materi pelatihan mulai dari TTG tentang air bersih, bangunan sampai kepada yang bersifat industri rumah tangga (pengolahan pasca panen).

Metoda pelatihan adalah partisipatif14 . Lebih banyak di luar kelas daripada di dalam kelas. Sebagai contoh adalah atap ijuk semen. Peserta mendapat pelajaran ini di luar kelas, sambil mencoba secara bersama - pelatih dan peserta -- langsung membuat atap (dalam ukuran seperti asbes) yang terbuat dari campuran semen dan ijuk (serat dari kulit buah kelapa). Semuanya diterangkan dalam bentuk gambar, sedikit kata-kata, karena kami menganggap orang akan mudah memahami dengan gambar atau visual daripada kata-kata atau teks. Semua peserta bersama fasilitator mencoba membuat semua peralatan TTG tersebut. Mulai dari mencampur semen, memotong besi sampai membangun (seperti bak penampungan air dari ferro - kawat ayam - atau bambu semen). Selain itu, peserta juga diajak diskusi tentang filosofi dan pemahaman terhadap teknologi, khususnya TTG.

Karena berangkat dari kenekadan, tidak semua TTG yang dicoba bisa berhasil dengan baik. Misalnya, Kincir Angin yang dimaksudkan untuk menjadi tenaga pengangkat air. Ternyata setelah dicoba, tidak berjalan dengan baik. Masalahnya, angin di Pabelan tidak cukup kuat untuk menggerakkan kincir tersebut. Pada akhir pelatihan, setiap pesantren diminta membuat rencana untuk pengembangan TTG di masing-masing pesantren. Pengembangan itu akan diawali dengan pelatihan TTG dengan materi yang sesuai dengan kebutuhan setiap pesantren. Pelatihan ini berlangsung selama 1 bulan, dan hasilnya, selain contoh-contoh, juga bak-bak penampung air yang dapat digunakan untuk keperluan pesantren Pabelan dan masyarakat sekitarnya.

Mengenal Pesantren

Pengembangan TTG di pesantren peserta pelatihan TTG, yang merupakan tindak lanjut pelatihan, juga dipercayakan kepada Mandiri. Hanya untuk pesantren Cipasung, kebetulan teman-teman ITB yang tergabung dalam Yayasan Swadaya Muda15 sebenarnya sudah terlebih dahulu kontak dengan Cipasung, maka kami berbagi peran dan tugas dengan mereka. Program ini berjalan secara efektif mulai tahun 1980 sampai dengan tahun 1984. Teman-teman mulai berbagi tugas. Ada yang mempersiapkan TTG yang berkaitan dengan air, ada yang TTG berkaitan dengan industri rumah tangga, dan sebagainya. Hanya saya tidak tahu alasan teman-teman, saya ditunjuk jadi semacam "koordinator", yang tugasnya untuk silaturrahmi dan ngobrol dengan Kiai. Mungkin karena ketika pemantauan pasca pelatihan, saya yang menemani teman LP3ES keliling pesantren.

Di tiap pesantren, dilakukan pelatihan TTG yang materinya berdasarkan usulan dari pesantren. Juga, pesertanya ditentukan oleh pesantren. Mulailah kami keliling dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Waktu pelatihan berkisar antara 1-2 minggu. Seperti halnya di Pabelan, metodanya selalu mencoba membuat sesuatu TTG yang hasilnya dapat langsung dimanfaatkan oleh pesantren dan masyarakat. Misalnya, kalau materi bambu semen maka membuat bak penampungan air. Bahkan di pesantren Annuqayah dan pesantren Al-Asy'ari, kami bersama peserta membuat bangunan yang rangkanya dari bambu semen, yang digunakan untuk kelas atau lokal madrasah.

Secara bergantian, kami melakukan silaturrahmi ke pesantren. Dalam pelatihan tersebut, tentunya kami tidak hanya sekadar memberikan fasilitasi tentang TTG. Kebetulan, teman-teman pesantren juga tahu sedikit tentang latar belakang kami, sehingga secara informal - baik dengan peserta, santri maupun Kiai - kami sering berdiskusi mengenai masalah-masalah umum yang ada di Indonesia. Diskusi informal ini membuat kami merasa dekat dan diterima oleh komunitas pesantren. Kami juga lebih mengenal pesantren, yang memang mempunyai perbedaan satu dengan lainnya. Ternyata masing-masing pesantren mempunyai ciri atau kekhasannya, yang tergantung kepada kepemimpinan pengasuh dan dukungan dari masyarakat sekitarnya. Setelah program tersebut, beberapa teman masih melanjutkan kontaknya dengan dunia pesantren. Sugeng Setyadi bersama Muchtar Abbas aktif di Pabelan, sampai akhirnya bisa membuat Institut Pengembangan Masyarakat, walaupun hanya berjalan beberapa angkatan. Hendra Setiawan dan Yusman SD (mantan Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia) sering silaturrahmi ke tempat Kiai Sahal Mahfud, Pesantren Maslakul Huda, Kajen, Pati. Hendra yang kebetulan setelah lulus ITB bekerja di kantor Kementerian Lingkungan Hidup tertarik untuk bersama pesantren Maslakul Huda mengatasi permasalahan limbah industri Tapioka di Kajen dan sekitarnya. Saya sendiri lebih banyak berada di Madura dan bagian timur dari Jawa Timur (Probolinggo dan Jember), terutama di Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep.

Di luar komunitas Pesantren

Pemunculan Mandiri di dunia LSM, ternyata mendapat tempat. Latar belakang kami16 , membuat kami bisa diterima di komunitas LSM. Ketika WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) akan didirikan oleh para aktivis lingkungan, kami juga diajak untuk ikut serta, walaupun tidak dalam posisi yang menentukan. Tetapi, yang saya ingat, ada beberapa hal yang kami diajak untuk ikut memutuskan, seperti ketika memilih wakil dari Jawa Barat untuk duduk dalam WALHI.

Di dalam komunitas LSM di Jawa Barat, khususnya di Bandung, Mandiri juga menjalin hubungan baik. Mandiri dan teman-teman LSM lainnya, mulai mencoba membuat forum, yang kami sebut sebagai "Warung Kopi". Warung Kopi merupakan media untuk saling bertukar informasi dan pengalaman, juga untuk bekerjasama dalam suatu program atau kegiatan. Jalan Cimandiri tidak pernah sepi, bahkan "penghuni" makin bertambah, tidak hanya teman-teman dari ITB tetapi sudah lintas Perguruan Tinggi dan LSM. Teman-teman dari Jakarta menjadikan Mandiri sebagai "clearing house" bagi kegiatan LSM dan para aktivis di Bandung.

Di dalam dunia pendidikan, Mandiri juga pernah mencoba beberapa program yang berkaitan dengan pendidikan. Misalnya, bimbingan test bagi siapa yang berminat tanpa membayar. Hanya terkadang peserta bimbingan mengganti biaya foto copy bahan. Bimbingan ini berjalan cukup baik, dengan pengajar teman-teman Mandiri dan teman-teman ITB yang mempunyai kepedulian yang sama. Kegiatan ini secara tidak disengaja, juga menjadi kaderisasi di dalam Mandiri. Cukup banyak teman-teman, baik yang dari ITB maupun di luar ITB, yang tertarik untuk bergabung dengan Mandiri baik sebagai anggota maupun hanya terlibat dalam berbagai kegiatan Mandiri. Ketika beberapa teman ITB tertarik untuk menfasilitasi pendidikan bagi anak-anak, terutama dari keluarga miskin, Mandiri ikut aktif dalam memotivasi dan menfasilitasi gagasan tersebut. Akhirnya, gagasan ini terwujud dengan mendirikan kelompok (akhirnya jadi yayasan yang diberi nama "Anak Merdeka"). Kelompok ini bisa dikatakan sebagai LSM Anak yang pertama di Bandung.

Keterlibatan Mandiri di Program Pesantren, telah menambah pertemanan kami dengan banyak orang dan banyak pihak. Beberapa teman yang berasal dari luar negeri, yang kebetulan juga terlibat dalam Program Pesantren, ikut mengenalkan Mandiri dengan berbagai pihak. Teman-teman yang dulu tergabung dalam Volunteers in Asia (VIA) - sebuah lembaga volunteers dari Amerika Serikat - banyak kontak dengan Mandiri. Bahkan Mandiri pernah menjadi tempat "pengabdian" salah satu volunteers tersebut. Silaturrahmi Mandiri dengan teman-teman tersebut juga menghasilkan berbagai program atau kegiatan di masyarakat.

GTZ (lembaga internasional dari Jerman) bekerjasama dengan Mandiri untuk membuat forum pengembangan TTG, yang diberi nama Forum Bandung. Forum ini mencoba melakukan tukar menukar pengalaman dan informasi serta kerjasama program antar LSM atau institusi (seperti pesantren) yang berminat dalam pengembangan TTG di masyarakat. Dalam pengembangan peralatan industri yang "tepat guna", Swisscontact (lembaga internasional dari Swiss) bekerjasama untuk industri-industri di wilayah Bandung dan sekitarnya. Kerjasama ini selanjutnya tidak hanya untuk wilayah Bandung, tetapi juga untuk di luar Bandung bahkan sampai di Jawa Timur. Juga melakukan kerjasama dalam bidang pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro.

Banyak program Mandiri, tidak hanya berasal dari tawaran lembaga internasional, tetapi yang dipilih sendiri atau diusulkan oleh teman-teman Mandiri. Kebetulan beberapa teman Mandiri memang punya hobi untuk jalan-jalan ke desa, dan jika melihat permasalahan, khususnya yang berkaitan dengan teknologi, Mandiri merasa punya kewajiban untuk memecahkan permasalahan tersebut. Sebagi contoh, tentang masalah industri gula17 di berbagai pelosok desa di Jawa Barat. Tidak hanya tergantung dari dana luar, cukup banyak kegiatan yang didanai sendiri oleh Mandiri atau bersama-sama dengan teman LSM lain - mungkin bisa dikatakan lebih banyak daripada yang mendapat bantuan dana dari luar. Secara umum, memang kegiatan seperti ini banyak berbentuk diskusi atau seminar, yang bertujuan meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dan media tukar menukar informasi dan pengalaman. Tetapi ada kegiatan yang langsung ke masyarakat, seperti bekerjasama dengan teman-teman Fakultas Kedokteran UNPAD dilakukan kegiatan penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan bagi masyarakat desa di Lembang.

Mandiri saat ini

Sejak sekitar tahun 1989-1990, bisa dikatakan sebagian besar generasi pertama atau pendiri PKBI sudah "tidak aktif sehari-hari" di Mandiri. Artinya, ada yang masih di Bandung tetapi sudah "bekerja" di tempat lain; ada yang sudah pindah ke luar Bandung; dan ada juga yang masih aktif di Mandiri, tetapi hanya sedikit. Pada saat itu, yang aktif di Mandiri adalah generasi berikutnya, yang merupakan hasil kaderisasi selama ini. Tetapi, selama dipegang oleh generasi berikutnya Mandiri masih bisa berkembang lebih baik. Hanya memang lebih berfokus pada pengembangan masyarakat secara umum. Tidak lagi bermain di komunitas pesantren, karena juga program-program di pesantren lebih banyak yang berfokus pada area ekonomi dan sosial.

Para Alumni18 Mandiri sudah tersebar di mana-mana. Ada yang memang bekerja sesuai dengan latar belakang pendidikannya di ITB, baik yang di pemerintahan maupun di perusahaan swasta. Juga ada yang masih menekuni bidang yang memang selama ini dikembangkan oleh Mandiri. Ada yang mengembangkan teknologi Mikrohidro untuk pembangkit listrik, sehingga dipercaya oleh pemerintah untuk mengembangkan teknologi tersebut ke beberapa daerah di Indonesia yang membutuhkan. Pengembangan agribisnis di Jawa Barat, juga tidak terlepas dari upaya alumni Mandiri yang terlibat dalam program ini di Pemerintah Daerah Jawa Barat. Tidak hanya alumni, para simpatisan19 juga banyak berkiprah di berbagai bidang atau lapangan pekerjaan, baik yang berkaitan dengan latar belakang pendidikannya atau minatnya dalam berbuat yang bermanfaat bagi masyarakat.

Di komunitas LSM, setelah tidak aktif di Mandiri ada 3 (tiga) alumni Mandiri yang pernah jadi Direktur WALHI. Juga ada yang berkelana dari satu LSM ke LSM lain, seperti saya. Menjadi konsultan yang masih ada kaitannya dengan pengembangan masyarakat menjadi salah satu pilihan para alumni Mandiri. Ada yang bisnis, kerja di pemerintahan, dan juga ada yang kerja perusahaan swasta. Ada alumni dan beberapa simpatisan Mandiri yang pernah menjadi menteri pada zaman Gus Dur20. Juga beberapa simpatisan pada saat ini telah menjadi "yang dicari atau sebagai bahan berita untuk media massa", terutama yang berkaitan dengan reformasi di Indonesia.

Penyebaran alumni dan simpatisan ini, walaupun sekitar mulai tahun 2001 tahun secara organisasi vakum21 , ternyata komunikasi tetap berjalan dengan baik. Apalagi beberapa teman telah menempati posisi penting dan strategis di tempat pekerjaannya masing-masing22 . Sehingga pertemuan tahunan masih terus berjalan. Beberapa rekan atau simpatisan - juga alumni - ternyata masih bertanya dan berharap tentang kiprah Mandiri di era reformasi ini. Terkesan, seakan-akan Mandiri telah menjadi "ikon" dari perkembangan LSM, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan teknologi di Indonesia.

Padahal, yang saya ingat, ada kesepakatan tidak tertulis, yang merupakan hasil dari diskusi-diskusi awal pendirian Mandiri bahwa "biarpun kita - maksudnya anggota Mandiri - tersebar dan bekerja di mana-mana, tetapi prinsip bahwa kepentingan masyarakat harus didahulukan dari kepentingan pribadi, teknologi harus membawa manfaat bagi masyarakat, dan walaupun kita berbeda tetapi tetap teman, harus selalu dipegang dan diyakini23 ". Paling tidak, saya menyaksikan bahwa hal-hal itu masih ada di dalam nurani para anggota Mandiri. Bisa dikatakan tidak ada alumni Mandiri yang membuat hal-hal yang tidak baik atau memalukan di mata masyarakat. Mereka bekerja secara profesional dengan nurani dan moral yang baik. Idealisme selama masih di Mandiri masih bisa terjaga dengan baik. Saling mengingatkan - tetapi dengan ciri khas Mandiri, yaitu disampaikan dalam bentuk guyon atau bercanda - membuat pertemanan kami selalu terjaga dengan baik, walaupun sering berbeda dalam politik maupun menyikapi suatu permasalahan. Berbagi peran dan posisi dengan saling menghargai, menghormati dan tanpa memaksakan kehendak masih dipegang teguh oleh setiap alumni Mandiri.

Harapan atau pertanyaan terhadap Mandiri, mengusik juga beberapa teman Mandiri untuk mulai "menghidupkan" Mandiri. Pada sekitar akhir tahun 2002 dan tahun 2003 ini setelah melalui berbagai pertemuan atau diskusi, akhirnya pada pertemuan tahunan24 yang dilakukan di Lampung pada bulan April 2003 disepakati bahwa Mandiri harus kembali hidup. Memang, dengan berbagai keterbatasan tidak sama seperti dulu, yaitu langsung di lapangan. Dengan berbagai potensi yang ada, mungkin saatnya Mandiri bisa menyumbangkan saran atau gagasan, terutama yang berkaitan dengan pengembangan teknologi di Indonesia.

Tahun 2003 dianggap sebagai awal tahun kembalinya Mandiri berbuat atau berkarya yang bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Juga sebagai persiapan bagi peringatan 25 tahun Mandiri, yang jatuh pada tanggal 19 Desember 2004. Kami menjadikan Mandiri sebagai "rumah tua", sebagai tempat berkumpul, saling bekerjasama, saling tolong-menolong, saling mengingatkan, yang diharapkan agar kiprah kami mempunyai manfaat bagi masyarakat. Direncanakan "pusat" - dalam arti kegiatan - dipindah dari Bandung ke Jakarta, karena sebagian besar dari kami berada di Jakarta. Tetapi, Bandung sebagai tempat lahir kami, tidak kami lupakan. Berdasarkan permintaan banyak pihak, Mandiri merencanakan akan membuka kembali "Warung Kopi" di Bandung.

Ternyata niat kami untuk "kembali" mendapat sambutan dari teman-teman LSM di Bandung. Menurut mereka, vakumnya Mandiri membuat kehidupan LSM di Bandung juga vakum. Warung Kopi juga akan bangkit kembali. Direncanakan bulan September 2003 ini, teman-teman LSM Bandung yang bekerjasama dengan Mandiri akan membuat pertemuan untuk "menghidupkan kembali" Warung Kopi. Selain itu, yang membuat saya terkejut bercampur senang, adalah sambutan dari "generasi muda"25 (yang aktif di Mandiri sekitar awal dan pertengahan tahun 1990-an). Mereka antusias menyambut kembalinya Mandiri. Bahkan mereka sanggup untuk menjadi pelaksana di lapangan.

Melihat sambutan tersebut, kami - khususnya "generasi tua atau pendiri" Mandiri - merasa yakin bahwa Mandiri harus kembali berkiprah. Walaupun kami sendiri belum tahu bentuk apa yang bermanfaat. Apakah seperti dulu langsung di lapangan, atau sekadar melahirkan konsep-konsep, atau mencoba menggabungkan keduanya. Selama ini, teman-teman di Jakarta bertemu secara rutin (sebulan sekali). Dalam pertemuan itu, selain menyiapkan acara untuk 25 tahun Mandiri (tahun 2004), juga mencoba berdiskusi apa yang bisa dibuat oleh Mandiri untuk Indonesia. Setiap teman mempunyai keahlian masing-masing, yang semua itu dicoba untuk disinergi. Tentunya dalam diskusi tersebut, kami selalu belajar dari semua kelemahan dan kekuatan kami selama ini.

Kami sendiri sampai sekarang tidak tahu apakah pilihan untuk "bangkit kembali" ini bisa mempunyai manfaat bagi masyarakat. Tetapi, kami yakin bahwa jika yang kami lakukan benar - seperti saat berdiri dulu, yang hanya bermodal kenekadan dan keyakinan - semoga ada manfaat yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Sejarahlah yang akan membuktikan. Kami sekarang hanya bisa membuktikan bahwa alumni dan simpatisan Mandiri, yang tersebar di mana-mana, masih punya hati dan nurani untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia


1Pada bagian ini, saya berterima kasih kepada teman-teman Mandiri yang telah memberikan masukan, khususnya kepada Hendra Setiawan (Gegep) dan Sugeng Setyadi (PakDe) yang banyak membantu saya dalam mengingat sejarah Mandiri.

2Pemilik rumah ini adalah Mayjen (Purn) Ir. Kuntoadji, Rektor ITB 1965-1969, dan terakhir sebelum pensiun menjabat sebagai Direktur Utama Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) selama 3 periode. Bank ini sekarang dimerger dengan bank pemerintah lainnya dengan nama Bank Mandiri. Setelah pensiun dari Bapindo, pergi ke Jeddah untuk menjadi Direktur di Islamic Development Bank. Om Kunto - biasa kami memanggil - wafat pada bulan Agustus 2005.

3SMA ini sekarang bernama SMU 70, yang merupakan gabungan antara SMAN IX dengan SMAN XI, yang letaknya bersebelahan. Alasan digabung, sekitar awal tahun 1980-an, karena antar pelajar SMA ini selalu berkelahi.

4Penghuni di sini maksudnya penghuni "resmi" (yang memang tinggal di situ, 7 orang) dan "tidak resmi (bisa mencapai 15-20 orang setiap hari).

5Ferrocement adalah kerangka yang dibuat dari kawat ayam yang dilapisi semen, bukan besi beton seperti pada umumnya. Ferrocement diujicoba untuk perahu, jembatan, bangunan (sebagai dinding), dan lainnya. Selain itu ada bambu semen, yang kerangkanya dari bambu. Pernah dicoba untuk dinding bangunan dan tempat penampungan air (tandon).

6"Nekad" mungkin juga jadi salah satu "ciri khas" anak ITB. Saya melihat, sering kami sebenarnya tidak paham, tetapi berani untuk berbuat sesuatu, walaupun ternyata salah. Tetapi alasan kami selalu "belajar dari pengalaman" atau "lebih baik berbuat daripada tidak" atau juga "kalau tidak pernah berbuat salah, mana bisa tahu mana yang salah". Yang sebetulnya itu semua untuk menutupi "kenekadan" kami.

7Teknologi konstruksi yang menggunakan rangka bukan dari besi beton tetapi kawat ayam. Biasanya untuk membuat jembatan, dinding rumah atau bak penampung air.

8Teknologinya sama dengan ferrocement, hanya kerangkanya menggunakan bambu yang dianyam.

9Kebetulan nama Mandiri memang dikenal di lingkungan civitas academica ITB, karena sebagian besar - bahkan bisa dikatakan semua - pendiri Mandiri aktif di Dewan Mahasiswa dan Himpunan Jurusan (di tempat lain adalah Senat Mahasiswa) di ITB. Juga, ketika "Aksi 1978 melawan Soeharto", jalan Cimandiri merupakan salah satu "pusat perlawanan", tempat berkumpulnya para aktivis, dan relatif aman dari gangguan aparat keamanan, karena pemilik rumah ini adalah mantan Rektor ITB 1965-1969 dan berasal dari militer (pemilik adalah orang tua dari salah satu pendiri Mandiri).

10Ternyata melalui mailing-list Mandiri, saya mendapat informasi dari Falatehan Siregar (anggota pendiri Mandiri, yang sekarang ini bekerja dan tinggal di Amerika Serikat) bahwa Demotech masih eksis sampai sekarang, dan bisa dilihat di website http://www.demotech.org

11Kami sebut Proyek, karena inilah untuk pertama kali kami sebagai Yayasan Mandiri berhubungan dengan pihak luar, dalam hal ini The Asia Foundation dan LP3ES.

12Yayasan Dian Desa bisa dikatakan merupakan LSM TTG pertama di Indonesia, yang didirikan oleh Anton Sudjarwo dan kawan-kawan (yang berasal dari Asrama Realino, Yogyakarta) sekitar tahun 1974-1975.

13Kalau tidak salah, pada saat itu Yayasan Dian Desa membantu dalam masalah penjernihan air dan tungku lorena (tungku hemat energi yang dibuat dari tanah liat).

14Istilah tersebut pada waktu itu belum populer. Saya menggunakan istilah tersebut, hanya untuk menggambarkan bahwa dalam proses pelatihan semuanya berkerjasama. Fasilitator maupun peserta sama-sama mencoba membuat teknologi yang dipelajari.

15Yayasan Swadaya Muda adalah LSM yang didirikan oleh teman-teman ITB yang aktif di Mesjid Salman ITB.

16Sebagian dari kami, kebetulan pada "Aksi 1978" mempunyai "posisi kunci" dari gerakan mahasiswa tersebut. Bahkan Erna Witoelar - yang waktu itu Direktur pertama WALHI, yang akhirnya jadi anggota Mandiri - mengatakan bahwa Yayasan Mandiri merupakan kumpulan para giant. Komentar tersebut juga dibenarkan beberpa tokoh senior Ornop lainnya.

17Industri gula kelapa banyak dibuat secara industri rumah tangga oleh masyarakat. Karena itu, biasanya mutu dan pengepakan (packaging) dari gula tersebut tidak begitu baik, sehingga murah harganya dan tidak tahan untuk disimpan. Mandiri mendampingi mereka agar mutu dan pengepakannya lebih baik sehingga layak dijual di toko-toko besar. Juga, mencoba melakukan diversifikasi, yaitu membuat "gula semut atau gula butiran (seperti gula putih)". Mandiri mencoba membantu petani gula kelapa di desa Padasuka, yang termasuk dalam wilayah kabupaten Cianjur atau kabupaten Sukabumi (maaf saya lupa).

18Saya memakai kata "Alumni" untuk teman-teman Mandiri yang secara sehari-hari sudah tidak terlibat dalam kegiatan Mandiri, termasuk yang jadi "Pengurus", dan masih tercatat dalam akte sebagai anggota.

19Saya menggunakan istilah simpatisan, untuk teman-teman yang secara formal kelembagaan tidak masuk dalam Yayasan Mandiri, hanya mereka banyak terlibat di dalam kegiatan Mandiri dan secara langsung dan tidak langsung ikut membesarkan Mandiri.

20Misalnya Erna Witoelar yang menjadi Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil) yang tercatat sebagai anggota Mandiri. Rizal Ramli (Ketua Badan Urusan Logistik - BULOG, lalu menjadi Menteri Koordinator Perekonomian dan terakhir menjadi Menteri Keuangan) dan Al-Hilal Hamdi (Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) yang bisa dikategorikan sebagai simpatisan Mandiri.

21Vakum dalam arti tidak ada kegiatan. Kebetulan juga dengan kesibukannya masing-masing sudah agak sulit bagi teman-teman Mandiri untuk meluangkan waktu mengurus Mandiri sehari-hari. Pada tahun 1998-2001, Mandiri lebih berfokus pada kegiatan Pusat Informasi TTG. Mulai tahun 2001 sampai dengan April 2003, bisa dikatakan Mandiri tidak ada kegiatan.

22Pekerjaan teman-teman Mandiri saat ini bervariasi, ada yang di pemerintahan, perguruan tinggi, bisnis/swasta dan ada yang masih aktif di dalam komunitas LSM.

23Kutipan tersebut sebenarnya bahasa saya dalam mengikuti dan mencoba menangkap esensi dari diskusi-diskusi awal tersebut.

24Pertemuan tahunan merupakan kegiatan rutin yang berjalan setiap tahun sejak tahun 1980. Pertemuan tahunan dimaksudkan sebagai media pertemuan dan berbagi pengalaman. Setiap 2 (dua) tahun sekali, pertemuan tahunan tersebut diikuti juga oleh keluarga dari para anggota Mandiri, dan juga dimaksudkan untuk memilih Pengurus dan Pelaksana yang baru (Pengurus dan Pelaksana dipilih setiap 2 tahun sekali, dan hanya boleh menjabat 2 perioda).

25Teman-teman Mandiri yang masih berada di Bandung, sebagian besar - terutama yang muda -- ternyata masih "meneruskan" salah satu program yang dulu dirintis melalui kerjasama Mandiri dengan Swisscontact, yaitu pendampingan terhadap industri kecil di sekitar Bandung (yang diberi nama Wahana Pengembangan Usaha - WPU). Mereka melanjutkan program ini, walaupun tidak lagi bekerjasama dengan Swisscontact. Kantor teman-teman inilah yang "dianggap" sebagai "kantor Mandiri", oleh berbagai pihak (LSM, Pemerintah, Lembaga Dana, dan lainnya) jika ingin mengetahui atau kontak Mandiri.

Home | About | Services | Jobs | Contact | Privacy
©2007 Yayasan Mandiri. All rights reserved. Website Template by
Hoover Web Design.