YAYASAN MANDIRI

» Home

» About

» Services

» Jobs

» Contact

Sejarah Pengembangan Pembangkit Listrik Mikrohidro di Yayasan Mandiri
Sentanu Hindrakusuma
2007

1982

Kegiatan PLTMH mulai dikenalkan pada tahun1982 di desa Padasuka, Cianjur, Jawa Barat, berupa kincir air over shoot untuk menggerakan dynamo listrik. Unjuk kerja instalasi sangat buruk; tidak aman dan mudah rusak. Berdasarkan pengalaman tersebut YM berusaha untuk melakukan adopsi teknologi turbin dari berbagai sumber.

Konstruksi kincir diganti menggunakan plat baja, tetapi masih banyak masalah karena berat dan tidak balance menyebabkan bantalan poros mudah rusak, selain dari itu RPM yang rendah membutuhkan sistem transmisi daya yang komplek, dan hasilnya tidak memuaskan; frekuensi listrik tidak stabil dan merusak peralatan elektronik.

1984

Penggunaan kincir air disadari akan menghadapi berbagai masalah. Oleh karena itu YM memutuskan untuk mempelajari turbin air. Pilihannya adalah turbin crossflow atau osberger, dengan pertimbangan dapat dibuat sendiri dengan peralatan yang sederhana.

Tantangan menjadi berkembang, salah satunya adalah bagaimana membuat pipa pesat (penstock) dan bagaimana cara instalasi pipa dan turbin. Beberapa alternatif dijajaki, seperti pembuatan pipa pesat dari kayu dan ternyata tidak mudah, sehingga tetap dipilih pipa pesat dari plat besi, walaupun dengan resiko harus dibuat di kota. Mempelajari sistem konstruksi instalasi turbin pada saat itu tidaklah mudah, karena referensi tidak mudah didapat (belum ada internet) dan belum ada contoh yang baik.

Sebenarnya teknologi turbin air sudah banyak digunakan sejak lama di Indonesia. Hingga tahun 1925 tercatat ada sekitar 400 turbin mini-hidro untuk kebutuhan pabrik teh, dan beberapa sekitar 40 unit masih beroperasi hingga saat ini. Hampir keseluruhan komponen didatangkan dari Eropa.

1986

Pertamakali, Yayasan Mandiri memperoleh kesempatan untuk mencoba membangun instalasi turbin air di Subang, dengan dukungan dana dari kedutaan besar Selandia Baru. Menggunakan desain turbin crossflow T3 yang paling sederhana dan dapat dibuat hanya dengan mesin las dan perkakas bengkel umum.

Hasilnya jauh lebih memuaskan dibandingkan dengan kincir air, tapi unjuk kerja belum memadai. Listrik sering mati dengan berbagai penyebab, hingga kerusakan total karena overload. Hal ini mengingatkan anggota Yayasan Mandiri bahwa TTG bukan teknologi kampungan yang asal jalan. Ada syarat minimal yang harus dipenuhi agar teknologi bermanfaat dan aman.

1987

Perbaikan instalasi terus dilakukan walaupun tidak ada dukungan dana dan teknologi. Masalah yang dihadapi bukan hanya pada turbin, tetapi juga pada bangunan saluran air dan distribusi listrik. Saluran air sering tersumbat oleh sampah. Berbagai modifikasi saringan dilakukan, akhirnya ditemukan kontruksi saringan yang dapat membersihkan sendiri, dan kontruksi tersebut masih digunakan hingga saat ini.

Tantangan yang masih belum terjawab adalah kontroler untuk mengendalikan overload daya. Walaupun demikian, masyarakat perdesaan sangat senang dapat listrik walaupun berkedi-kedip.

1989

Pada pertengahan tahun 1989 dijajaki kerjasama dengan proyek MHP-GTZ, sebuah poyek kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Jerman. Disepakati beberapa program pengembangan PLTM untuk memperbaiki kinerja instalasi dengan tetap memperhatikan kemampuan lokal, baik dari segi manufacturing dan pembiayaan.

Pada tahap awal adalah mengembangkan kemampuan YM untuk merencanakan instalasi PLTM, membimbing bengkel lokal untuk membuat turbin, dan menerapkan kontroler yang handal untuk melindungi instalasi dan keamanan agi konsumen, pada batas standar minimal.

Walaupun belum resmi adanya bantuan, staff GTZ yaitu Mark Hayton sudah memulai memberi masukan dalam berbagai hal desain turbin, termasuk mulai membuat turbin T7 di bengkel lokal. Harus banyak modifkasi dari blueprint, disesuaikan dengan kemampuan bengkel.

1991

Reputasi PLTM pada titik nadir tidak dipercaya sebagai sistem pembangkit listrik yang handal. Sebagian besar PLTM yang dibiayai pemerintah tidak berfungsi. Kebanyakan orang beranggapan PLTM adalah TTG yang mudah dan murah, sehingga bohir tidak mau bayar mahal dan kontraktor boleh ambil untung semaunya, tanpa ada standar instalasi minimal.

Pada kondisi tersebut, penggiat PLTM harus membiayai kegiatan dengan dana pribadi masing-masing. Anggota pengurus YM bekerja tanpa honor, konsultan bekerja diluar tugasnya, demikian juga bengkel bekerja tanpa order pembelian, semua sepakat untuk mencoba membuat sebuah turbin made in Indonesia.

Pada bidang distribusi listrik, mulai dikenalkan penggunaan No Fuse Breaker (NFB), yang lebih dikenal sebagai MCB. Pembatas arus mendesak diterapkan karena banyak menimbulkan masalah sosial, konflik di antara konsumen, yang pada akhirnya mengakibatkan kerusakan pada sistem instalasi. Generator terbakat akibat overlad beban yang sukar dikendalikan.

Pembangunan PLTM tidak hanya masalah teknis, tetapi juga harus menangani masalah sosial agar masyarakat dapat mengelola sendiri instalasi PLTM yang mereka miliki.

1992

Dari satu contoh instalasi PLTM yang dibangun dengan pendekatan baru, dan terbukti cukup handal, akhirnya Gubernur Jawa Barat memberikan hibah dana kepada YM untuk membangun PLTMH di Kabupaten Subang. Anggaran dana yang diberikan mengacu kepada biaya proyek sejenis sebelumnya yang terbatas, sehingga dibutuhkan dana pendamping dari GTZ, di luar biaya-biaya honor dan perjalanan. Hasilnya memang sangat memuaskan, melebihi harapan dari penyandang dana. Instalasi tersebut menjadi contoh ideal instalasi PLTM dengan standar minimal. Pada tahun itu juga YM memperoleh pendanaan dari Keduataan Jerman untuk membangun PLTM di Seloliman Jawa Tengah.

Tidak bisa dihindarkan, PLTM identik dengan gaya hidup konsumtif. Begitu listrik menyala, masyarakat berbondong-bondong membeli TV dan memasung parabola. Oleh karena itu YM dengan aktif mengenalkan berbagai kegiatan produktif pemanfaatan listrik (program end-use), seperti penggerak huller, pemarut kelapa, sawmill, dsb.

1994

Reputasi PLTM sebagai teknologi penyediaan listrik di perdesaan terpencil mulai membaik. Mulai tahun 1993, pembiayaan instalasi PLTM banyak berasal dari APBN. Satuan biaya yang disediakan juga naik, sesuai dengan biaya minimal untuk membangun PLTM yang handal. Permintaan jasa instalasi PLTM meningkat dari berbagai pihak, baik pemerintah pusat, provinsi, hingga lembaga donor. Keahlian PLTM menjadi sumber nafkah baru bagi penggiat PLTM, baik sebagai developer, bengkel turbin, surveyor, dan jasa lainnya. Yayasan mandiri memberikan hak ekslusif untuk komersialisasi PLTM kepada PT HIBS, sebuah persero yang didirikan oleh Aktivis PLTM.

Tumbuhnya kebutuhan SDM di bidang PLTM, YM dengan pembiayaan GTZ menyusun manual Operasi dan Maintenance PLTM, manual Persiapan Sosial, Manual Persiapan Teknis, dan pelatihan PRA dengan Gender Sensitive pada proyek pembangunan PLTMH, metode ini akhirnya menjadi standar berbagai donor dalam melakukan evaluasi proyek pada sisi gender sensitive. Dari sisi teknis beberapa insinyur diberangkatkan ke Switzerland untuk mempelajari sistem sinkronisasi pada sistem grid connected yang pada waktunya akan digunakan pada sistem PSK tersebar.

1996

Jumlah PLTM yang terpasang pada akhir tahun 1996 sudah mencapai 32 unit sehingga kebutuhan SDM Pengelola PLTM di perdesaan juga meningkat. Berdasarkan kebutuhan tersebut, YM menyusun kurikulum dan menyelenggarakan pelatihan operasi dan maintenance PLTM untuk operator. Keahlian instalasi PLTM menjadi bidang profesi yang menarik, dan mulai banyak mahasiswa yang berminat kerja praktek. Salah satu hasilnya adalah program analisis kelayakan PLTM, yang secara otomatis menghitung berbagai parameter kelayakan ekonomi. Dalam bidang manajemen juga berhasil disusun buku petunjuk administrasi keuangan PLTM, beserta formulirnya.

Pasar PLTM semakin luas dengan kebijakan pendanaan dari APBN untuk masing-masing provinsi. Demikian juga pendanaan dari lembaga donor, dari lingkungan PBB juga Technical Assistance dari beberapa negara seperti JICA. Yayasan Mandiri memperoleh kepercayaan dari Perkebunana Teh Cibuni, sebuah perkebunan dengan modal asing untuk melakukan Contract Service dua buah turbin Osberger 2x300 Kw.

Perusahaan komersial developer juga bertambah menjadi 3 perusahaan. Pada tahun 1996 manufacturer yang memperoleh lisensi dari SKAT ada 2 bengkel. MHP-GTZ mengenalkan teknologi ELC dengan cara import langsung dari Inggris, dan selanjutnya dicoba untuk melakukan reverse engineering.

1998

PLTM semakin nyata dapat meningkatkan "living standard" masyarakat perdesaan dan meningkatkan produktivitas. Beberapa kegiatan non-budidaya mulai tumbuh di desa yang terlayani PLTM. Pada beberapa kasus kualitas pasokan listrik dari PLTM dibandingkan yang lainnya, sehingga masyarakat dapat menggunakan berbagai peralatan listrik dengan baik, salah satunya adalah mesin border yang membutuhkan tegangan yang stabil.

Politeknik Bandung berhasil melakukan reverse engginering ELC. Peralatan kontroler untuk mengendalikan kualitas listrik sudah sepenuhnya dapat diproduksi di Indonesia. Kemampuan insinyur PLTM semakin dipercaya oleh berbagai kalangan, termasuk JICA yang memesan perangkat turbin untuk dipasang di Leyte, Filipina. Demikian juga dengan keahlian pembuatan kontroler, Toshiba melalui Sumitomo memesan Sinkoniser pada instalasi turbin axial Toshiba di NTB.

Desain turbin berkembang terus, manufacturer turbin mulai mengadopsi desain turbin T12 yang dapat menghasilkan daya hingga 125 Kw, menuju skema mini-hydro. Walaupun demikian pengembangan turbin skala kecil juga masih berlanjut. Developer PLTM mulai menggunakan turbin axial, berupa Pump As Turbine (PAT) dari pompa air mixedflow yang menghasilkan daya 5kW. Pada tahun 1998 didirikan Asosiasi Hidro Bandung untuk mewadahi kepentingan stake-holder PLTM.

2000

Krisis Moneter juga berpengaruh terhadap perkembangan bisnis PLTM. Pembiayaan dari pemerintah menurun drastis. Tetapi krisis tersebut memberikan dampak yang sangat positif bagi PLTM. Pemangkasan subsidi BBM menjadikan PLTM sangat kompetitif dibandingkan dengan skema pembangkit daya lainnya. Banyak perkebunan yang mempertimbangkan untuk kembali memanfaatkan PLTM sebagai sumber energi.

Kenaikan harga minyak mentah dunia juga sangat berpengaruh. PLTM menjadi primadona sumber energi alternatif. Anggaran pembangunan PLTM pada tahun 2001 melonjak tajam, dan tidak bisa ditangani keseluruhannya oleh developer yang ada.

Kemampuan manufacturer turbin semakin berkembang. Mereka mulai menerapkan pola good manufacturing practice, sebuah langkah untuk memperoleh sertifikat ISO. Pendokumentasian alur produksi dan Pengujian pada critical control point sudah mulai dilakukan dengan melibatkan lembaga riset di Bandung. Balancing turbin dan pulley dilakukan di lembaga yang sudah terakreditisasi.

2002

Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan "PSK Tersebar" sehingga PLTM dapat menjual listrik ke PLN (grid-connected). Pola ini sudah dirintis oleh Ibeka dua tahun sebelumnya dalam skala sangat kecil, menggunakan generator induksi. Pada tahun 2002 diresmikan PLTM yang sejak awal direncanakan grid-connected, yaitu PLTM di subang yang menggunakan turbin ganda (couple). Seluruh komponen mekanik dan elektrik made in Indonesia. Demikian juga dengan perencanaan dan pembangunan instalasi PLTM tersebut. Skema PLTM tersebut sekarang menjadi obyek studi berbagai latar belakang kebangsaan dan keilmuan.

Salah satu manufacturer yang memiliki latar belakang foundry, yaitu Bengkel Cihanjuang, berhasil memproduksi turbin aksial. Dimulai dari sebuah turbin propler dengan diameter 200 mm dan suatu saat berkembang menuju skala minihidro.

2004

Hubungan industri PLTM semakin komersial dan terspesialisasi. Beberapa manufacturer turin sudah bersedia membayar lisensi desain turbin. Kapasitas daya turbin yang semakin besar menuntut perubahan pada desain Power House dan bangunan sipil lainnya. Beberapa komponen instalasi penstock, seperti expansion joint sudah dapat diproduksi lokal.

Teknologi end-use masih terus dikembangkan,baik peralatan listrik yang sudah umum seperti mesin giling tepung, maupun peralatan yang disesain khusus untuk memanfaatkan listrik pada siang hari. Pengenalan tungku listrik untuk memasak nira aren menjadi gula adalah satu desain yang baru saja dikenalkan untuk memanfaatkan daya yang tidak terpakai pada siang hari.

2006

Ide untuk membuat pembangkit listrik dengan daya sangat kecil sudah mulai diwacanakan dari tahun 2000, yaitu pembangkit listrik untuk menggantikan "kincir keren" , yaitu kincir air yang menggunakan dynamo (keren) mobil. dengan daya di bawah 100 watt. Karena dayanya sangat kecil, maka dinamakan sebagai "picohydro", sebuah istilah yang mungkin belum populer dalam ilmu hidraulik. Dimulai dari pembuatan turbin aksial, akhirnya dibuat sebuah tubin portable yang sudah diproduksi massal oleh bengkel Cihanjuang dengan harga sangat kompetitif.

Home | About | Services | Jobs | Contact | Privacy
©2007 Yayasan Mandiri. All rights reserved. Website Template by
Hoover Web Design.